Perkawinan Tidak Selalu Menjadikan Orang Bahagia


Perkawinan Tidak Selalu Menjadikan Orang Bahagia
Untuk apa menikah? Untuk membangun keluarga yang bahagia. Lantas di mana letak kebahagiaan perkawinan? Inilah pergulatan pasangan setiap saat.

Perkawinan kadang dianggap sebagai muara dari sebuah relasi untuk mendapatkan kebahagiaan. Impian dan mimpi pasangan adalah saling membahagiakan. 

Tanyakan pada mereka yang sudah menikah. Apakah 100% bahagia? Harus diakui bahwa ada pasangan yang memang bahagia. Ada yang pura-pura bahagia. Ada yang bingung untuk bahagia. Ada pula yang justru merasa asing dengan kebahagiaan dalam perkawinannya.

Ternyata, perkawinan tidak selalu membuat orang bahagia. Ya, menikah bukan jaminan untuk bahagia. Banyak yang tidak menikah tapi tetap bahagia. Perkawinan kadang tidak seindah mimpi dan angan. Justru perkawinan menghadapkan pasangan akan realitas yang tak terduga, konflik, perbedaan dan neraka.

Ada yang beranggapan bahwa bahagia dalam perkawinan kalau punya harta. Betulkah? Banyak orang justru selalu bertengkar karena masalah harta. Waktu kebersamaan berkurang karena mencari dan mengumpulkan kekayaan, lalu kehadiran, perhatian dan kasih sayang diabaikan.

Bahagia kalau punya anak. Memang keluarga akan terasa sempurna ketika dikaruniai anak. Anak menjadi sumber kebahagiaan. Jika tidak punya anak, terasa belum lengkap sebagai keluarga, apalagi berhadapan dengan pertanyaan, ‘Sudah punya anak, berapa anaknya?’

Apakah dengan kehadiran seorang anak lantas keluarga bahagia? Nyatanya, konflik terjadi karena ulah anak. Anak melawan dan membangkang orang tua. Anak terjebak dalam lingkungan pergaulan yang salah. Seiring perkembangan anak, bertambah pula konflik dan permasalahan keluarga.

Keluarga bahagia kalau rajin berdoa. Semua pergi ke gereja. Tetapi apakah itu menjamin bahagia? Nyatanya setelah keluar gereja, suami marah terhadap istri. Anak buat masalah. Istri berkelahi dengan tetangga.

Ada yang merasa perkawinan justru membatasi kebebasan. Perkawinan seperti membawanya ke pulau terasing, menyendiri di kamar dan meratapi nasib. Menyesal karena telah menikah, “Kalau saya tahu begini dari dulu, saya tidak mau menikah.”

Pisah ranjang, perceraian bahkan lari adalah konsekwensi dari perkawinan yang tidak bahagia. Alasannya hampir sama, karena sudah tidak cinta lagi. Benarkah? 

Tidak! Cinta tidak harus ada 100% di awal. Bisa saja hanya beberapa persen. Sisanya dicari dan diusahakan sepanjang hidup. Cinta selalu diciptakan dan dibangun.

Perkawinan memang tidak selalu membuat orang bahagia, tetapi orang dapat membuat perkawinannya bahagia. Intinya di sini! Bahagianya perkawinan bergantung pada pilihan. Kebahagiaan tidak jatuh dari langit, tetapi ada pada usaha pribadi masing-masing. Kebahagiaan itu tercipta ketika masing-masing mengalahkan egoisme dan menjadi pribadi yang dibutuhkan oleh pasangan. 

Seperti apa perjalanan perkawinan tergantung pilihan; mau bahagia atau tidak. Tidak perlu mengharapkan harta, atau orang lain untuk mendapatkan kebahagiaan. Bahagia itu ketika bisa mengalahkan ego masing-masing, saling memahami, saling percaya, jujur dalam berkomunikasi and so on.

Kendalikan hati, pikiran, kehendak dan perasaan. Perkawinan menjadi tidak bahagia karena pribadi lepas control dan membiarkan kebahagiaan bersama hilang ditelan napsu dan keinginan pribadi. 

Perkawinan tidak selalu membuat orang bahagia. Tetapi orang dapat membuat perkawinannya bahagia.

Oleh : Romo Joseph Pati Mudaj MSF

Source : WA BMRK

No comments

Powered by Blogger.