ASAL USUL POHON NATAL
By. Esra Alfred Soru
Sekarang ini Natal nyaris tidak dapat dipisahkan dari �Christmas Tree� (Pohon Natal). Pohon Natal ini disebut juga sebagai �Pohon Terang� bahkan ada orang yang menciptakan lagu khusus untuk pohon ini :
�Pohon terang (2x) sungguh indah rupamu.... Masa-masa t�rus berganti warna hijaumu abadi....Pohon terang (2x) sungguh indah rupamu....Sungguh indah cahayamu menerangi duniaku� dst�
Dalam versi aslinya yang berbahasa Jerman, lagu �Pohon Terang� itu aslinya berjudul �O Tannenbaum� dan dibuat versi Inggrisnya dengan judul �O Christmas Tree�.
Ya, pohon Natal kelihatannya begitu penting dalam perayaan berbagai perayaan Natal kita. Natal seolah kehilangan makna kalau tidak ada pohon Natal. Bagaimana pun merayakan Natal harus ada pohon Natalnya. Kita sukar membayangkan hadir dalam sebuah perayaan Natal tetapi tidak nampak ada pohon Natal di sana. Kita mungkin bertanya �Ini Natalan atau bukan?�. Pada waktu saya duduk di SMP dan aktif dalam kegiatan-kegiatan Pramuka, grup Pramuka kami itu karena sesuatu dan lain hal masih berada di areal perkemahan pada tanggal 25 Desember (di pulau Rote) dan karenanya malam itu juga kami merayakan Natal di sana. Karena berpikir bahwa pohon Natal begitu penting dan ketika mencari-cari pohon cemara dan tidak menemukannya maka kami dengan terpaksa memakai pohon kapuk sebagai ganti pohon cemara. Kami lebih memilih pohon kapuk sebagai pohon Natal daripada tidak ada pohon Natal sama sekali. Ini adalah pengalaman saya. Mungkin ada banyak orang mempunyai pengalaman-pengalaman yang unik di sekitar pohon Natal. Itu semua memberi gambaran kepada kita bahwa perayaan-perayaan Natal kita sepertinya mustahil dipisahkan dari kehadiran pohon Natal. Menariknya, di dalam cerita Natal di Alkitab, kita tidak menemukan adanya kisah tentang pohon Natal. Lalu dari mana pohon Natal ini muncul dan tiba-tiba sudah menjadi bagian yang hampir tak ter-pisahkan dari perayaan Natal ?
Sesungguhnya kita tidak dapat mengetahui dengan pasti dari mana munculnya pohon Natal ini karena sejarahnya bersifat kontroversial. Minimal ada 2 pandangan di sekitar sejarah pohon Natal ini.
1. Ada yang mengatakan bahwa pohon Natal berhubungan dengan kekafiran dan penyembahan berhala.
Pendapat dan argumentasi seperti ini biasa datang dari kaum anti Natal seperti sekte Saksi Yehovah dan beberapa gereja Kristen lainnya yang juga tidak merayakan Natal. Mereka mengatakan bahwa tradisi pohon Natal berasal dari kepercayaan orang-orang Eropa sebelum mereka menjadi Kristen di mana suku bangsa Celtic dan Teutonic sangat menghormati pohon-pohon ini pada perayaan musim dingin sebagai simbol kehidupan kekal. Pohon ini disembah sebagai janji akan kembalinya sang matahari yang merupakan lambang kehidupan bagi para penyembah berhala.
Versi lainnya mengatakan bahwa pada zaman dahulu bangsa Romawi menggunakan pohon cemara untuk perayaan Saturnalia di mana mereka menghiasi pohon cemara dengan hiasan-hiasan kecil dan topeng-topeng kecil, karena pada tanggal 25 Desember ini adalah hari kelahiran dewa matahari yang bernama Mithras, yang asal mulanya dari dewa matahari Iran yang kemudian dipuja di Roma.
Jadi ada hubungan antara pohon cemara dalam perayaan Saturnalia dan pohon Natal dalam perayaan Natal. Mereka akhirnya berkesimpulan bahwa merayakan Natal dan memakai pohon Natal adalah sesuatu praktek yang bersifat berhala atau kafir.
2. Pohon Natal sama sekali tidak ada hubungan dengan berhala dan kekafiran.
Kebiasaan memasang pohon Natal sebagai dekorasi sebenarnya dimulai dari Jerman. Pohon cemara dipakai sebagai pohon Natal pada abad 16. Penggunaan pohon yang terus menerus hijau/tidak terpengaruh oleh musim dingin dilihat sebagai simbol dari kehidupan yang kekal. Encyclopedia Britannica 2000 dengan topik �Christmas tree� mengatakan bahwa :
�Tetapi Pohon Natal modern, berasal usul dari Jerman Barat. Alat atau barang utama yang diperlukan di panggung dari suatu sandiwara populer abad pertengahan tentang Adam dan Hawa adalah suatu pohon semacam cemara yang digantungi buah-buah apel (pohon Firdaus) menggambarkan Taman Eden. Orang-orang Jerman mendirikan atau memasang suatu pohon Firdaus di rumah mereka pada tanggal 24 Desember, hari raya agamawi dari Adam dan Hawa�.
Tetapi bagaimana sampai muncul tradisi semacam ini? Ini juga tidak jelas! Ada yang mengaitkan tradisi ini dengan pengalaman Santo Bonifacius, seorang rohaniawan Inggris bernama yang memimpin beberapa gereja di Jerman dan Perancis.
Suatu hari dalam perjalanannya dia bertemu dengan sekelompok orang yang akan mempersembahkan seorang anak kepada dewa Thor di sebuah pohon oak. Untuk menghentikan perbuatan jahat mereka, maka Bonifacios merobohkan pohon oak tersebut dan anak yang akan dikorbankan itu tetap hidup. Selanjutnya Bonifacius mengambil sebuah pohon cemara dan diberikan kepada anak itu sebagai lambang kehidupan.
Cerita lain mengaitkan pohon Natal ini dengan tokoh reformator Kristen, Martin Luther.
Diceritakan bahwa saat Martin Luther sedang berjalan-jalan di hutan pada suatu malam, ia sangat terkesan dengan keindahan gemerlap jutaan bintang di angkasa yang sinarnya menembus cabang-cabang pohon cemara di hutan. Martin Luther lalu menebang sebuah pohon cemara kecil dan membawanya pulang pada keluarganya di rumah. Untuk menciptakan gemerlap bintang seperti yang dilihatnya di hutan, ia lalu memasang lilin-lilin pada tiap cabang pohon cemara tersebut. Kalau salah satu saja dari 2 cerita ini benar maka jelas bahwa pohon Natal tidak ada kaitan sama sekali dengan kekafiran dan penyembahan berhala.
Jadi ada 2 pandangan tentang sejarah pohon Natal. Sebagian mengaitkannya dengan kekafiran dan penyembahan berhala tetapi sebagian mengatakan sama sekali tidak ada kaitannya dengan penyembahan berhala. Yang mana yang benar? Apakah pohon Natal berhubungan dengan kekafiran atau tidak? Ini menjadi bahan kontroversi di Jerman juga sehingga pemerintah Jerman pernah mengeluarkan peraturan denda bagi setiap orang yang kedapatan memasang pohon Natal di rumah atau gereja. Peraturan tersebut akhirnya di-hapus ketika Pangeran Albert dan isterinya Ratu Victoria dari Inggris mempopulerkan penggunaan pohon tersebut sebagai pohon Natal. Pendapat saya terhadap dua pandangan di atas adalah kedua-duanya bisa saja benar. Bisa benar bahwa pohon Natal yang kuno memiliki hubungan dengan penyembahan kafir terhadap dewa matahari dan bisa juga benar bahwa pohon Natal yang modern tidak ada kaitan sama sekali dengan kekafiran / penyembahan berhala.
Kalau pohon Natal mungkin saja memiliki hubungan dengan kekafiran dan penyembahan berhala, lalu apakah itu berarti bahwa memasang atau memakai pohon Natal adalah suatu praktek kafir? Tidak ! Jawaban saya adalah :
1. Pohon Natal modern bisa jadi tidak memiliki hubungan sama sekali dengan kekafiran.
2. Bahwa pohon Natal yang kuno memiliki hubungan dengan kekafiran dan penyembahan dewa matahari harus dipahami lebih dalam dengan cara mencari tahu latar belakangnya. Untuk jelasnya saya kutipkan kembali tulisan saya pada tahun 2004 yang lalu, meskipun yang dibahas bukanlah masalah pohon Natal melainkan masalah tanggal 25 Desember yang dikaitkan dengan kekafiran :
�Harus diingat bahwa perayaan Natal yang bertepatan dengan perayaan kafir itu bukan berarti bahwa umat Kristen waktu itu menyembah dewa-dewa kafir. Sebaliknya justru mereka ingin menjauhkan diri dari kekafiran. Perhatikan kata-kata Herlianto : �Pada tahun 274, di Roma dimulai perayaan hari kelahiran matahari pada tanggal 25 Desember sebagai penutup festival Saturnalia (17-24 Desember) karena diakhir musim salju matahari mulai menampakkan sinarnya pada hari itu. Meng-hadapi perayaan kafir itu, umat Kristen umumnya meninggalkannya dan tidak lagi mengikuti upacara itu, namun dengan adanya kristenisasi masal di masa Konstantin, banyak orang Kristen Roma masih merayakannya sekalipun sudah mengikuti agama Kristen. Kenyataan ini mendorong pimpinan gereja di Roma mengganti hari perayaan �kelahiran mata-hari� itu menjadi perayaan �kelahiran Matahari Kebenaran� dengan maksud mengalihkan umat Kristen dari ibadat kafir pada tanggal itu dan kemudian menggantinya menjadi perayaan �Natal.� Pada tahun 336, perayaan Natal mulai dirayakan tanggal 25 Desember sebagai pengganti tanggal 6 Januari. Ketentuan ini diresmikan kaisar Konstantin yang saat itu dijadikan lambang raja Kristen. Perayaan Natal kemudian dirayakan di Anthiokia (375), Konstantinopel (380), dan Alexandria (430), kemudian menyebar ke tempat-tempat lain�. (www.yabina.org). Herlianto melanjutkan : �Dari kenyataan sejarah tersebut kita mengetahui bahwa Natal bukanlah perayaan dewa matahari, namun usaha pimpinan gereja untuk mengalihkan umat Roma dari dewa matahari kepada Tuhan Yesus Kristus dengan cara menggeser tanggal 6 Januari menjadi 25 Desember, dengan maksud agar umat Kristen tidak lagi mengikuti upacara kekafiran Romawi. Masa kini umat Kristen tidak ada yang mengkaitkan hari Natal dengan hari dewa matahari, dan tanggal 25 Desember pun tidak lagi mengikat, sebab setidaknya umat Kristen secara umum merayakan hari Natal pada salah satu hari di bulan Desember sampai Januari demi keseragaman. Karenanya Encyclopedia Britannica 2000 dengan topik �from church year Christmas� menulis : �...hari raya tentang kelahiran Kristus, hari lahir dari �surya kebenaran� (Mal 4:2) ditetapkan di Roma, atau mungkin di Afrika Utara, sebagai suatu saingan Kristen terhadap hari raya kafir dari surya yang tak terkalahkan pada titik balik matahari....� Demikianlah asal usul perayaan Natal pada tanggal 25 Desember. (Esra Alfred Soru; Kapan Sesungguhnya Yesus Dilahirkan?; Timex, 23 Desember 2004).
Dengan penjelasan di atas maka jelas bahwa kesamaan-kesamaan yang terjadi di antara penyembahan dewa matahari dan perayaan Natal semata-mata hanyalah upaya untuk menghindarkan umat Kristen dari penyembahan berhala. Para penyembah kafir memperingati hari lahirnya dewa matahari sedangkan umat Kristen memperingati hari kelahiran Kristus yang adalah terang dunia. Para penyembah dewa matahari memasang lilin-lilin pada pohon cemara untuk mengingat dewa matahari sebagai pemberi terang, tetapi umat Kristen memasang lilin-lilin pada pohon cemara untuk memperingati datau menyimbolkan Kristus sebagai terang yang sesungguhnya. Dengan demikian maka penggunaan pohon Natal dalam perayaan-perayaan Natal bukanlah sesuatu yang berbau kekafiran atau penyembahan berhala apalagi ditambah dengan adanya kemungkinan bahwa sejarah pohon Natal modern tidak ada kaitan-nya dengan penyembah-an berhala.
Nah, jika penggunaan pohon Natal dalam perayaan Natal kita bukanlah sesuatu yang salah atau berbau kekafiran dan penyembahan berhala, lalu mengapa saya mengatakan pohon Natal sebagai salah satu fokus yang salah dalam merayakan Natal? Ingat, saya tidak bersikap anti terhadap penggunaan pohon Natal tetapi bagi saya ada hal-hal tertentu yang tidak pas dengan pohon Natal, terutama hiasan-hiasannya, seperti misalnya hiasan Santa Claus. Menurut saya semua hiasan Santa Claus itu harus dibuang / tidak dipakai. (nanti dijelaskan pada bagian selanjutnya). Demikian juga dengan hiasan-hiasan yang tidak sesuai fakta seperti salju-saljuan pada pohon Natal. Dengan memberikan salju-saljuan, maka itu menunjukkan bahwa seolah-olah Natal terjadi pada musim dingin. Padahal boleh dikatakan tidak mungkin Natal terjadi pada musim dingin, mengingat bahwa para gembala berada di luar / di padang pada malam hari, pada saat mereka mendapat berita Natal dari malaikat-malaikat (Luk 2:8-11). Jadi mungkin hiasan salju-saljuan itu harus dibuang, untuk lebih menyesuaikan dengan fakta. Juga lagu seperti �White Christmas� sepertinya juga tidak perlu dipakai karena tidak sesuai dengan fakta. Yang lebih penting daripada itu adalah pohon Natal tidak boleh menjadi fokus dalam perayaan Natal. Meskipun memakai pohon Natal tidak salah tetapi kita harus berhati-hati agar tidak memberi penekanan yang berlebihan terhadap pohon Natal. Mengapa saya katakan berlebihan? Karena bagi banyak orang, pohon Natal menjadi sesuatu yang mutlak harus ada. Kalau tidak ada pohon Natal maka seolah-olah itu bukan Natal. Dengan demikian bagi banyak orang Kristen, pohon Natal menjadi hakikat dari Natal, padahal sebetulnya, kalau mau berbicara secara strict, maka Natal sama sekali tidak berurusan dengan pohon Natal. Apa bahayanya kalau pohon Natal itu menjadi terlalu penting? Bahanya adalah itu bisa menggeser apa yang seharusnya merupakan hal terpenting dalam Natal, yaitu Yesus Kristus sendiri. Earl Rainey berkata :
�The Christmas tree has taken the place of the altar in too much of our modern Christmas observance� (Pohon Natal telah mengambil tempat di altar dalam terlalu banyak dari perayaan Natal modern kita) - �The Encyclopedia of Religious Quotations�, hal 113-114.
Ini sama seperti �Round girl� (wanita pembawa papan petunjuk ronde dalam pertandingan tinju) yang terlalu cantik dan seksi dan menyebabkan kita tidak memperhatikan papan bertuliskan ronde ke berapa yang sedang ia bawakan. Kita justru asyik melihat kecantikan dan keseksian dari �round girl�nya. Saya tidak mengharuskan untuk membuang pohon Natal secara total; itu rasanya tidak mungkin. Tetapi setidaknya kita harus mengurangi penekanan yang berlebihan pada pohon Natal ini, supaya jangan pohon Natal, yang sebetulnya tidak ada hubungannya dengan Natal, mengaburkan / menggeser fokus yang sebenarnya dari Natal.
- AMIN -
Post a Comment